Alamat E-mail Nurul Hidayah:yayasanmasjidnurulhidayah@gmail.com
Tampilkan postingan dengan label Berjilbab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berjilbab. Tampilkan semua postingan

Tips Menjaga Keharmonisan Menurut Imam Al-Ghozali

 Tips Menjaga Keharmonisan Menurut Imam Al-Ghozali
Menikah merupakan salah satu sunnah Nabi Saw. Didalam pernikahan banyak sekali hal-hal yang tidak diketahui oleh pasangan sehingga terkadang tidak semuanya berjalan langgeng dan harmonis, banyak sekali rintangan yang harus dihadapi oleh setiap pasangan. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali telah membahasnya dengan mengikuti kiat-kiat yang telah disebutkan oleh beliau dalam kitab Al-Ihya’. Beliau berkata, “Bahwa jika pasangan suami istri melakukan hal di bawah ini niscaya akan langgeng rumah tangganya, harmonis serta bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.” Adapun perkara-perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya pasangan suami-istri tersebut sebelum menikah mempelajari ilmu agama yang berhubungan dengan nikah, sehingga hak masing-masing dapat terlaksana, karena bagaimana ia dapat mengetahui hak masing-masing jika tanpa dasar ilmu agama. Dengan mengetahui ilmu agama, insya Allah keluarga akan terjaga dari api neraka.
Oleh karenanya, Allah SWT berfirman:
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا(التحريم : 6
“Jagalah diri kalian dan juga keluarga kalian dari neraka.” (QS At-Tahrim: 6).
Rasulullah SAW bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه مسلم
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap orang muslim.” (HR Muslim).
2. Hendaknya seorang suami sabar menghadapi perlakuan maupun akhlaq istri yang tidak baik, karena bagaimanapun akal seorang wanita tidak sama dengan akal pria, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَغْلَبُ عَلَى لُبِّ الرَّجُلِ مِنَ النِّسَاءِ (رواه البخاري
“Aku tidak melihat seorang yang kurang akal dan agamanya yang menguasai akal laki-laki lebih dari perempuan.” (HR Al-Bukhari).
Allah SWT dan Rasul-Nya mewanti-wantikan hal itu, sebagaimana dalam firman Al¬lah SWT:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوف )النساء: 19
“Dan gaulilah para istri itu dengan baik.” (QS An Nisaa’: 19).
Rasulullah juga bersabda:
الله الله فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ فِي أَيْدِيْكُمْ يَعْنِي أَسُرَاءَ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ (رواه نسائ
“Awaslah kalian dari perbuatan yang tidak baik kepada istri-istri kalian, karena mereka bagaikan tawanan di tangan kalian, kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah dan menjadi halal bagi kalian kemaluannya dengan kalimat Allah.” (HR An-Nasa’i).
Seorang suami harus mengingat bahwa kebaikan istri kepada suaminya sangatlah banyak, seperti mencuci pakaiannya, memasak, menyiapkan makanan, menjaga rumah dan hartanya, serta yang paling penting dia memberikannya seorang anak dan mendidiknya, yang mana itu semua bukan kewajibannya akan tetapi semata-mata karena kebaikannya untuk sang suami, dan itu merupakan kebaikan yang membutuhkan balasan kebaikan pula dari sang suami, paling tidak dengan tidak menzhaliminya dan sabar terhadap perilakunya yang tidak baik.
3. Hendaknya seorang suami berusaha sebisa mungkin untuk bersifat romantis kepada istrinya dengan mencandainya dan bermain dengannya sebagaimana hal itu dilakukan Rasulullah kepada istri-istri beliau, sehingga diriwayatkan bahwa Rasulullah bercanda dengan istri-istrinya dan Rasulullah berusaha mengikuti kemauan mereka dan bersenda gurau dengan mereka, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berlomba dalam mengendarai kuda, maka Rasulullah SAW memenangkan perlombaan itu tapi dalam kesempatan lain Rasulullah SAW kalah (mengalah) dari Sayyidatuna Aisyah RA. Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Itu adalah pembalasan dari kekalahan kamu yang lalu,”
demikianlah salah satu gambaran saat Rasulullah SAW bersenda gurau dengan istrinya, Sayyidatuna Aisyah RA.
إِنَّهُ كَانَ مِنْ أَفْكَهِ النَّاسِ مَعَ نِسَائِهِ (رواه الطبراني
“Bahwasanya Rasulullah SAW paling romantisnya manusia dengan istrinya.” (H.R. Ath-Thabarani).
Berkata Sayyidina Umar bin Al-Khaththab RA, “Hendaknya bagi orang yang berakal menjadi seperti anak-anak terhadap istri-istrinya.”
Jelas sudah, bersenda gurau ataupun berhubungan baik dengan istri adalah sunnah, dengan catatan tidak sampai melewati batas, misalnya apa pun yang diingini istrinya diikuti padahal itu karena keinginan hawa nafsunya, sehingga suami tersebut tidak ada wibawa di depan istri dan tidak bisa melarang kemunkaran yang dilakukan sang istri. Berkata Sayyidina Umar bin Al-Khaththab RA, “Bertolak belakanglah kalian dengan apa yang diingini oleh wanita, karena di situlah ada keberkahan.” Berkata Imam Hasan Basri, “Demi Allah, tidak ada seorang suami pun mengikuti istrinya dalam setiap apa pun yang diinginkannya kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam neraka karenanya.” Kesimpulannya, seorang suami dalam keluarga harus menjadi pemimpin yang disegani karena wibawanya sekaligus dicintai karena mengerti kemauan keluarga, baik ketika bersenda gurau maupun ketika dalam keadaan serius.
4. Hendaknya seorang suami tidak terlalu mencemburui istrinya sampai kelewat batas. Sifat cemburu yang ada pada seorang suami memang merupakan sifat yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إِنِّيْ لَغَيُوْرٌ وَمَا مِنْ اِمْرِئٍ لاَ يُغَارُ إِلاَّ مَنْكُوْسُ الْقَلْبِ) رواه أبو عمر
”Sesungguhnya aku adalah seorang pencemburu dan tidak ada seorang pun yang tidak cemburu pada istrinya kecuali dia adalah pria yang terbalik hatinya.” (HR Abu Umar).
Akan tetapi harus dicatat bahwa cemburu boleh dilakukan atau bahkan merupakan sifat yang baik jika pada tempatnya. Misalnya dia keluar rumah tanpa seizin suaminya atau berbicara dengan laki-laki ajnabi (bukan mahram) dan lain-lain. Adapun jika tanpa sebab sebelumnya, itu merupakan cemburu buta dan sifat yang tidak baik, karena berdasarkan prasangka tidak baik, dan itu dilarang oleh agama kita, sebagaimana sabda Nabi SAW:
إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ غَيْرَةٌ يَبْغَضُهَا الله عَزَّ وَجَلَّ وَهِيَ غَيْرَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِهِ مِنْ غَيْرِ رِيْبَةٍ (رواه أبو داود
”Sesungguhnya di antara sifat cemburu, ada yang dibenci oleh Allah, yaitu cemburu pada istri tanpa alasan atau hanya karena prasangka tidak baik.” (HR Abu Dawud).
Imam Ali KW berkata, “Janganlah kamu suka mencemburui istrimu tanpa sebab, karena hal itu akan menyebabkan istrimu dituduh yang bukan-bukan dan engkau penyebabnya.”
5. Hendaknya seorang suami dalam memberi nafkah mengambil jalan tengah, yaitu tidak terlalu kikir atau terlalu boros, karena keduanya dilarang oleh agama. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا (الأعراف :31
”Makan dan minumlah kalian akan tetapi jangan sampai boros.” QS Al-A’raf: 31.
6. Hendaknya seorang istri mampu mempunyai sifat qana’ah (menerima apa adanya) terhadap pemberian sang suami, dan tidak meminta sesuatu yang di luar kemampuan suami, karena hal itu akan menyebabkan suaminya berbuat yang tidak diinginkan. Hendaknya mencontoh wanita-wanita shalihah dahulu, sebagaimana diriwayatkan, jika suami mereka akan keluar mencari rizqi, istri shalihah tersebut berkata kepada suaminya, “Wahai suamiku, carilah rizqi yang halal, karena aku tahan dengan lapar dan sengsara tapi tidak tahan terhadap siksa api neraka.”
7. Hendaknya istri menjaga harta suami, dan tidak menafkahkannya kecuali dengan seizinnya. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
لاَ يَحِلُّ لَهَا أَنْ تُطْعِمَ مِنْ بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِلاَّ الرَّطْبَ مِنَ الأَطْعَامِ الَّذِيْ يُخَافُ فَسَادُهُ، فَإِنَّ أَطْعَمَتْ عَنْ رِضَاهُ كَانَ لَهَا مِثْلُ أَجْرِهِ، وَإِنْ أَطْعَمَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ الأَجْرُ وَعَلَيْهَا الْوِزْرُ  (رواه أبو داود والبيهقي
”Tidak boleh bagi seorang istri bersedekah dari harta suami kecuali dengan seizinnya, kecuali seperti ruthab (kurma muda), yang ditakutkan rusak jika tidak dimakan. Dan jika bersedekah dengan kerelaan suami, dia juga dapat pahalanya; dan jika tanpa seizin¬nya, pahala sedekahnya untuk sang suami dan dia berdosa karenanya.” (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
8. Hendaknya seorang istri selalu tinggal dalam rumah suaminya dan tidak keluar darinya kecuali dengan izin dari suami, dan jika diberi izin oleh suaminya hendaknya dia keluar rumah dengan pakaian muslimah, menghindari keramaian, berusaha menyamarkan dirinya, terutama kepada teman-teman suaminya, dan yang demikian itu hendaknya dilakukan istri supaya tidak terjadi fitnah yang akan mengganggu hubungan dengan suaminya.
9. Hendaknya seorang istri tidak banyak mengobrol dengan tetangganya kecuali untuk hal yang perlu saja, karena biasanya jika berkumpul antara tetangga kalau tidak ngerumpi ya membicarakan kekurangan atau kelebihan suami, sehingga membuat yang mendengar marah, iri, dengki, dan lain-lain, yang pada akhirnya menjengkelkan suaminya dan membuat retak hubungan keduanya.
10. Hendaknya seorang istri lebih mengutamakan kemauan suaminya daripada kemauannya atau keluarganya.
11. Hendaknya seorang istri selalu tampil cantik mempesona di depan suaminya, siap kapan pun jika sewaktu-waktu diajak berhubungan intim oleh sang suami.
12. Hendaknya seorang istri bersabar dalam mendidik anak-anaknya dan tidak gampang mengumpat mereka jika melanggar perintahnya, karena umpatan seorang ibu dapat menjadi kenyataan.
13. Hendaknya seorang istri tidak congkak terhadap suaminya, baik dengan kecantikan maupun harta-nya. Jadilah seperti Sayyidatuna Khadijah RA, istri tercinta Rasulullah SAW, yang pada mulanya adalah seorang wanita yang kaya, kemudian, setelah Rasulullah SAW diangkat menjadi seorang nabi, beliau berikan semua hartanya demi kepentingan dakwah sang suami. Begitulah, beliau utamakan suaminya dengan hartanya. Begitu pula, jangan merasa congkak dengan kecantikannya, contohlah wanita yang diceritakan Imam Asma’i RA. Ia pernah masuk suatu desa, di sana ia bertemu pasangan suami-istri yang istrinya sangat cantik dan suaminya sangat buruk rupa, maka sekali waktu Imam As¬ma’i berkata kepada perempuan tersebut, “Kenapa kamu mau menikah dengannya padahal engkau adalah wanita yang cantik?” Wanita itu menjawab, “Diamlah, wahai Fulan, ketahuilah bahwa engkau telah berbuat tidak baik dengan perkataanmu karena mungkin saja suamiku orang yang taat kepada Tuhannya, maka Allah menjadikanku sebagai balasannya, dan aku termasuk orang yang tidak baik terhadap Tuhanku, maka Allah menjadikan suamiku sebagai balasannya, lalu akankah aku tidak rela dengan kehendak Allah?” Maka berkata Imam Asma’i, “Jawabannya telah membuatku tertegun dan merasa berdosa.”
14. Hendaknya seorang istri melayani suaminya de-ngan semampunya, apakah itu pekerjaan rumah maupun pekerjaan lainnya yang diperintahkannya, asalkan tidak mengandung kemaksiatan, sebagaimana diriwayatkan Sayyidatuna Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, istri sahabat Zubair bin Awwam, yang berkata, “Aku dinikahi sahabat Zubair dalam keadaan tidak punya apa-apa, baik itu tanah, harta, maupun budak, selain kuda dan unta perangnya, maka aku yang mengurus kuda dan unta tersebut, aku yang memeras susunya, menyiapkan makan dan minum binatang tersebut, walaupun hal itu aku lakukan dengan susah payah”. Begitulah istri-istri yang shalihah melayani suami mereka, yang pada gilirannya nyatalah dalam kehidupan mereka, rumah tangga yang harmonis dan bahagia serta anak-anak yang shalih dan shalihah. Itulah sekelumit kiat-kiat mendapatkan dan men¬jaga keharmonisan rumah tangga, semoga kita bisa melaksanakan kiat-kiat tersebut. Amin ya rabbal ’alamin.



Hukum cadar menurut Madzhab Imam Syafi’i

Hari ini begitu banyak umat Islam yang mengaku bermadzhab syafi’iyah. Namun, sedikit saja di antara mereka yang benar-benar memahami dan mengamalkan pendapat-pendapat madzhab syafi’iyah itu sendiri.
Cadar

Salah satunya adalah pendapat madzhab syafi’i tentang batasan aurat perempuan dan kaitannya dengan penggunaan niqab (cadar). Bahkan, masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah penganut madzhab syafi’i justru kerap kali antipati terhadap wanita yang mengenakan cadar. Bahkan mengidentikan cadar dengan teroris. Na’udzubillah.

Untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap, kami akan memaparkan pendapat para ‘ulama madzhab syafi’i tentang aurat wanita dan syari’at niqab (cadar).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyatakan dalam Al Umm (1/109) pendapat beliau,

وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها

“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”

Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),

على المرأة أن تخمر في الصلاة جميع بدنها سوى وجهها وكفيها

“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm adalah aurat wanita dalam shalat.

Imam An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (3/169) mengatakan,

ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد

“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan.

Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”

Berkata Syaikh Sulayman Al Jamal tentang pernyataan Imam An Nawawi di atas:

غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن

“(maksud perkataan An Nawawi bahwa aurat wanita adalah) selain wajah dan telapak tangan, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan.” (Hasyiatul Jamal ‘Ala Syarh Al Minhaj, 411)

Syaikh Asy Syarwani berkata:

إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ

“Wanita memiliki tiga jenis aurat: (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha.” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)

Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها

“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)

Ibn Qaasim Al Abadi berkata:

فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا

“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)

Syaikh Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:

ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب

“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab.” (Kifaayatul Akhyaar, 181)

Muslimah

Berkata Syaikh Salim ibn Sumair Al Hadhrami Asy Syafi’i dalam Safinatun Najah hal 11:

وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوى الوجه والكفين وعورة الحرة والأمة عند الأجانب جميع البدن

“Dan aurat perempuan merdeka ketika shalat, yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Adapun aurat perempuan merdeka dan budak terhadap laki-laki ajnabi (non mahram), yaitu seluruh badan.”

Berkata Syaikh Muhammad Nawawi ibn ‘Umar Al Bantani Al Jawi dalam Kasyifatus Saja Fii Syarh Safinatun Najah :

حتى الوجه والكفين ولو عند أمن الفتنة فيحرم عليهم أن ينظروا إلى شيء من بدنهما ولو قلامة ظفر منفصلة منهما

“(yang dimaksud seluruh badan) adalah termasuk wajah dan kedua telapak tangan walaupun dalam keadaan aman dari fitnah. Dan haram bagi laki-laki ajnabi melihat sesuatu dari badan perempuan (baik perempuan merdeka atupun budak) walau sekedar hiasan kukunya saja.”

Begitu kuat pendapat para ‘ulama syafi’i tentang wajibnya menutup seluruh tubuh bagi wanita di depan ajnabi, termasuk wajah dan telapak tangan. Artinya, madzhab syafi’i secara umum mewajibkan penggunaan cadar bagi wanita untuk melindungi dirinya dari pandangan orang-orang ajnabi (non mahram).

Walaupun ada beberapa ‘ulama syafi’i yang tidak mewajibkan cadar, namun fatwa para ‘ulama di atas sudah cukup mewakili bahwa mengenakan cadar bagai wanita merupakan bagian dari syari’at yang diakui madzhab Asy Syafi’i.


Ajaran Madzhab Safi'iI Yg ditinggl Oleh Sebagian Pengikutnya

KETIGA : CADAR

Memang aneh…sebagian orang memandang miring terhadap cadar…, sementara sebagian yang lain dengan bangganya berkata, "Jika ada sejuta Lady Gaga yang datang ke tanah air maka tidak akan mengurangi keimanan kami ??!!". Lady Gaga datang sejuta kali ke Indonesia tidak akan mengurangi keimanan warga kita…!!!.
Sebagian lagi menganggap tarian goyang inul sebagai sesuatu yang biasa yang tidak perlu diingkari, goyangan inul merupakan bentuk kebebasan berekspresi !!!.
Kalau sebagian orang tersebut dari kalangan awam, mungkin masih bisa dimaklumi.., akan tetapi jika pernyataan-pernyataan tersebut muncul dari kiyai…maka…mau dikemanakan moral bangsa kita ini !!??


Tidakkah diketahui bahwa di tanah air kita telah terjadi perbuatan mesum di bawah umur??, anak-anak remaja SMP, bahkan SD !!!, lantas bagaimana bisa terucap bahwa sejuta Lady Gaga tidak akan mempengaruhi keimanan.., bahkan jika lady Gaga datang sejuta kali ke tanah air ???

Maka sungguh aneh…jika ada yang membela inul…dan ada yang memandang miring cadar??!!

Ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab syafi'i adalah wajah wanita merupakan aurot sehingga wajib untuk ditutupi !!! wajib untuk bercadar !!!

          Meskipun tentunya permasalahan cadar adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama, akan tetapi perlu diingat bahwasanya para ulama telah sepakat bahwa memakai cadar hukumnya disyari'atkan, dan minimal adalah mustahab/sunnah. Mereka hanyalah khilaf tentang kewajiban bercadar.

Sebelum saya nukilkan perkataan para ulama syafi'iyah tentang permasalahan ini, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu dalil-dalil yang menunjukkan akan disyari'atkannya bercadar bagi wanita.



DALIL DISYARI'TAKANNYA CADAR

Pertama : Para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menutup wajah dan kedua telapak tangan mereka.

Al-Qoodhy 'Iyaadh rahimahullah berkata

فهو فرض عليهن بلا خلاف في الوجه والكفين فلا يجوز لهن كشف ذلك

"Berhijab diwajibkan atas mereka (para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) pada wajah dan kedua telapak tangan –tanpa ada khilaf (di kalangan ulama)- maka tidak boleh bagi mereka membuka wajah dan kedua telapak tangan mereka" (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/391)

Maka seluruh ulama –termasuk para ulama yang memandang tidak wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan- juga sepakat bahwa untuk para istri Nabi wajib bagi mereka menutup wajah dan kedua telapak tangan.

Allah berfirman

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" (Al-Ahzaab : 53)

Ayat ini disepakati oleh para ulama bahwa ia menunjukkan akan wajibnya hijab dan menutup wajah, hanya saja para ulama yang membolehkan membuka wajah berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Akan tetapi pengkhususan tersebut terhadap para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja kurang tepat, ditinjau dari beberapa alasan :

-         Yang menjadi patokan adalah keumuman lafal bukan kekhususan sebab. Meskipun sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan istri-istri Nabi akan tetapi lafalnya umum mencakup seluruh kaum mukminat

-         Para istri Nabi lebih suci hati mereka dan lebih agung di hati kaum mukminin, selain itu mereka adalah ibu-ibu kaum mukminin, serta haram untuk dinikahi setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meskipun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berhijab dan menutup wajah mereka. Maka para wanita kaum mukminat lebih utama untuk menutup wajah mereka

-         Allah menjadikan hikmah dari hijab dalam ayat ini adalah ((cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka)), padahal yang membutuhkan kesucian hati bukan hanya istri-istri Nabi, akan tetapi demikian juga seluruh kaum mukminat.

-         Ayat selanjutnya setelah ayat ini adalah firman Allah

لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (٥٥)

"Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu" (Al-AHzaab : 55)

Tentunya kita tahu bahwasanya meskipun yang disebut dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi akan tetapi hukumnya mencakup dan berlaku bagi seluruh kaum mukminat tanpa ada khilaf dikalangan para ulama.



Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang menggeret pakaiannya (isbal) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"

Maka Ummu Salamah berkata : فكيف يصنع النساء بذيولهن؟ "Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ekor-ekor rok mereka (yang terseret-seret di tanah-pen)?"

Nabi berkata : يُرْخِيْنَ شِبْرًا "Hendaknya mereka para wanita menjulurkan rok mereka hingga sejengkal"

Ummu Salamah berkata, إذاً تنكشف أقدامهن "Kalau hanya sejengkal maka akan tersingkaplah kaki-kaki mereka"

Nabi berkata, فيرخينه ذراعاً لا يزدن عليه "Mereka menjulurkan hingga sedepa, dan hendaknya tidak lebih dari itu" (HR At-Thirmidzi no 1731 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara yang diketahui oleh para wanita di zaman Nabi bahwa kaki adalah aurot sehingga mereka berusaha untuk menutupinya bahkan meskipun dengan isbal (menjulurkan kain rok hingga tergeret di tanah). Jika kaki –yang kurang menimbulkan fitnah- saja wajib untuk ditutup maka bagaimana lagi dengan wajah yang merupakan pusat dan puncak kecantikan seorang wanita ??!!.



Ketiga : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لا تباشر المرأة المرأة، فتنعتها لزوجها كأنه ينظر إليها

"Janganlah seorang wanita menemui seorang wanita yang lain lalu setelah itu menyebutkan sifat-sifat wanita tersebut kepada suaminya, sehingga seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" (HR Al-Bukhari)

Sabda Nabi "Seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" merupakan dalil bahwasanya para wanita dahulu menutup wajah-wajah mereka. Jika wajah-wajah mereka terbuka wajahnya maka para lelaki tidak butuh untuk dibantu oleh seorang wanita untuk menceritakan sifat kecantikan para wanita karena para lelaki bisa melihat langsung.



Keempat : Hadits-hadits yang banyak yang menunjukkan disyari'atkanya seorang lelaki untuk nadzor (melihat wanita) yang hendak dilamarnya atau dinikahinya. Diantara hadits tersebut adalah : Dari Al-Mughiroh bin Syu'bah ia berkata :

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له امرأة أخطبها. قال: "اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا". قال: فأتيت امرأة من الأنصار فخطبتها إلى أبويها وأخبرتهما بقول النبي صلى الله عليه وسلم. فكأنهما كرها ذلك. قال: فسمعتْ ذلك المرأة وهي في خدرها فقالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرك أن تنظر فانظر، وإلا فأنشدك. كأنها أعظمت ذلك. قال: فنظرت إليها، فتزوجتها

"Aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu aku menyebutkan tentang seorang wanita yang aku lamar. Maka Nabi berkata, اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا "Pergilah dan lihatlah wanita tersebut, sesungguhnya hal itu lebih melanggengkan antara kalian berdua".

Maka akupun menemui wanita dari kaum Anshor tersebut lalu aku melamarnya melalui kedua orang tuanya dan aku kabarkan kepada kedua orang tuanya tentang perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka seakan-akan keduanya tidak suka akan hal itu. Lalu sang wanita mendengar percakapan kami –sementara ia di dalam pingitannya dalam rumah- lalu sang wanita berkata, "Kalau Rasulullah memerintahkan engkau untuk melihat maka lihatlah !, jika tidak maka aku memintamu untuk melihatku". Seakan-akan sang wanita mengagungkan perkataan Nabi. Lalu akupun melihatnya dan menikahinya"

Hadits ini merupakan dalil bahwasanya para wanita mereka berhijab dan menutup wajah-wajah mereka, karenanya seorang lelaki tidak mampu untuk melihat wajah mereka kecuali jika ingin melamar. Kalau para wanita telah terbuka wajah-wajah mereka maka tidak perlu seorang lelaki meminta izin kedua orang tuanya untuk melihat !!


Inilah dalil-dalil yang menunjukkan disyari'atkannya bercadar untuk menutup wajah wanita, bahkan sebagian dalil di atas menunjukkan akan wajibnya hal ini. Akan tetapi pembahasan kita kali ini bukan dalam rangka menguatkan pendapat yang mewajibkan, akan tetapi dalam rangka menjelaskan akan disyari'atkannya bercadar. Toh sebagian ulama hanya memandang disyari'atkannya namun tidak wajib. Diantara mereka adalah Syaikh Al-Albani (meskipun istri-istri beliau bercadar) akan tetapi beliau tidak memandang wajibnya cadar, sebagaimana beliau telah memaparkan dalil-dalil beliau dalam kitab beliau "Jilbaab al-Mar'ah Al-Muslimah" dan juga kitab "Ar-Rod Al-Mufhim".


CADAR WAJIB MENURUT MADZHAB SYAFI'I

          Yang anehnya ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab Syafi'iyah adalah wajibnya menutup wajah, bukan hanya disunnahkan !!. Akan tetapi pendapat ini serasa asing dan aneh di tanah air kita yang notabene sebagian besar kita menganut madzhab syafi'i.

Sebelumnya penulis tidak menemukan perkataan Imam Syafi'i yang tegas dalam mewajibkan cadar, yang penulis dapatkan dalam kitab Al-Umm adalah hanyalah isyarat yang tidak tegas.

Imam Syafi'i berkata :

وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ تَنْتَقِبَ

"Dan wanita berbeda dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya adapun lelaki ihromnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita. Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh baginya untuk menggunakan niqoob" (Al-Umm 2/148-149)

Beliau juga berkata :

وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا

"Boleh bagi wanita (yang sedang ihrom-pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga ia bersitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh wajahnya"(Al-Umm 2/203)

Beliau juga berkata :

وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ

"Dan aku suka bagi wanita yang dikenal cantik untuk thowaf dan sa'i di malam hari. Jika ia thowaf di siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia thowaf dalam keadaan tertutup" (Al-Umm 2/212)

Seorang wanita disyari'atkan untuk menggunakan niqob (cadar), hanya saja tatkala ia sedang dalam kondisi ihrom maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita untuk menggunakan niqoob, yaitu cadar.

Akan tetapi Al-Imam Asy-Syafi'i –dalam pernyataannya ini- menjelaskan jika seorang wanita baarizah (nampak di kalangan manusia), lalu ia ingin sitr (menutupi dirinya/berhijab) dari manusia (para lelaki asing) yaitu jika ia ingin menutup wajahnya maka caranya dengan menjulurkan kain dari atas kepalanya sehingga menutupi wajahnya, akan tetapi tidak melekat dan menempel di wajahnya sebagaimana halnya cadar yang diikat sehingga menutup wajahnya. Dan juluran kain tersebut menurut Imam Syafi'i kedudukannya seperti penutup bagi wajahnya.

          Sangat jelas bahwa menutup wajah tetap disyari'atkan meskipun dalam kondisi ihrom. Hanya saja memang dalam pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i ini tidaklah tegas menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib.

Pernyataan-pernyataan wajibnya bercadar kita dapatkan secara tegas dari perkataan mayoritas para ulama syafi'iyah. Dan para ulama syafi'iyah membedakan antara aurot wanita tatkala sholat dan tatkala di hadapan lelaki asing. Dalam sholat wajah dan telapak tangan dibuka, adapaun diluar sholat di hadapan lelaki asing maka wajah adalah aurot dan harus ditutup.



Berikut nukilan pernyataan mereka, yang akan penulis klasifikasikan menjadi dua, (1) para fuqoha' syafi'iyah dan (2) pafa mufassir syafi'iyah

PERTAMA : PARA FUQOHA SYAFI'IYAH :

Diantara mereka :

(1) Imamul Haromain al-Juwaini, beliau berkata :

مع اتفاق المسلمين على منع النساء من التبرج والسفور وترك التنقب

"…disertai kesepakatan kaum muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka wajah mereka dan meninggalkan cadar…"(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/31)

(2) Al-Gozali rahimahullah, beliau berkata :

فإذا خرجت , فينبغي أن تغض بصرها عن الرجال , ولسنا نقول : إن وجه الرجل في حقها عورة , كوجه المرأة في حقه, بل هو كوجه الصبي الأمرد في حق الرجل , فيحرم النظر عند خوف الفتنة فقط , فإن لم تكن فتنة فلا , إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه , والنساء يخرجن منتقبات , ولو كان وجوه الرجال عورة في حق النساء لأمروا بالتنقب أو منعن من الخروج إلا لضرورة

"Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurot bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurot bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurot bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat" (Ihyaa Uluum Ad-Diin 2/47)

Sangat jelas dalam pernyataan Al-Gozali diatas akan wajibnya bercadar, karena jelas beliau menyatakan bahwa wajah wanita adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh lelaki asing, karenanya para wanita bercadar. Jika wajah para lelaki adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh para wanita secara mutlak maka para lelaki tentu akan diperintahkan bercadar.

(3) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata

ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح

"Dan diharamkan seorang lelaki dewasa memandang aurot wanita dewasa asing, demikian juga haram memandang wajahnya dan kedua tangannya tatkala dikhawatirkan fitnah, dan demikian juga haram tatkala aman dari fitnah menurut pendapat yang benar" (Minhaaj At-Tholibin hal 95)

Ar-Romly tatkala menjelaskan perkataan An-Nawawi di atas, beliau berkata :

(على الصحيح) ووجَّهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء أن يخرجن سافرات الوجوه وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة فاللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كالخلوة بالأجنبية وبه اندفع القول بأنه غير عورة فكيف حرم نظره لأنه مع كونه غير عورة نظره مظنة للفتنة أو الشهوة ففطم الناس عنه احتياطا

"(menurut pendapat yang benar), dan Al-Imam (Imamul Haromain al-Juwaini) berdalil untuk pendapat ini dengan "kesepakatannya kaum muslimin untuk melarang para wanita keluar dalam kondisi terbuka wajah-wajah mereka, dan juga karena melihat (wajah-wajah mereka) sebab timbulnya fitnah dan menggerakan syahwat. Maka yang pantas dan sesuai dengan keindahan syari'at adalah menutup pintu dan berpaling dari perincian kondisi-kondisi seperti berkholwat (berdua-duaan) dengan wanita ajnabiah (wanita yg bukan mahram -pen)". Dengan demikian tertolaklah pendapat bahwa wajah bukanlah aurot, lantas bagaimana diharamkan memandangnya?, karena meskipun wajah bukan aurot maka memandangnya sebab menimbulkan fintah atau syahwat, maka orang-orang dilarang untuk melihat wajah sebagai bentuk kehati-hatian"  (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)

(4) As-Suyuthy rahimahullah, beliau berkata :

المرأة في العورة لها أحوال حالة مع الزوج ولا عورة بينهما وفي الفرج وجه وحالة مع الأجانب وعورتها كل البدن حتى الوجه والكفين في الأصح وحالة مع المحارم والنساء وعورتها ما بين السرة والركبة وحالة في الصلاة وعورتها كل البدن إلا الوجه والكفين

"Wanita dalam perihal aurot memiliki beberapa kondisi, (1) kondisi bersama suaminya, maka tidak ada aurot diantara keduanya, dan ada pendapat bahwa kemaluan adalah aurot (2) kondisi wanita bersama lelaki asing, maka aurotnya adalah seluruh badannya bahkan wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang lebih benar, (3) Kondisi bersama para mahromnya dan para wanita lain, maka aurotnya antara pusar dan lutut, (4) dan aurotnya tatkala sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan" (Al-Asybaah wan Nadzooir hal 240)

(5) As-Subki rahimahullah, beliau berkata :

الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة

"Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi'iyah bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal dipandang bukan dalam sholat" (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129)

(6) Ibnu Qoosim (wafat 918 H) rahimahullah, beliau berkata:

(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع بدنها

"Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurot kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah aurotnya dalam sholat, adapun di luar sholat maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya" (Fathul Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84)

(7) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب

"Dan dimakaruhkan seorang lelaki sholat dengan baju yang ada gambarnya, demikian juga makruh sholat dengan menutupi wajahnya. Dan dimakruhkan seorang wanita sholat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk membuka cadarnya" (Al-Iqnaa' 1/124)

(8) Abu Bakr Ad-Dimyaathy rahimahullah, beliau berkata:

واعلم أن للحرة أربع عورات فعند الأجانب جميع البدن  وعند المحارم والخلوة ما بين السرة والركبة وعند النساء الكافرات ما لا يبدو عند المهنة وفي الصلاة جميع بدنها ما عدا وجهها وكفيها

"Ketahuliah bahwasanya bagi wanita merdeka ada 4 aurot, (1) tatkala bersama para lelaki asing maka aurotnya seluruh badannya, (2) tatkala bersama mahrom dan tatkala kholwat (sedang bersendirian) maka aurotnya adalah antara pusar dan lutut, (3) tatkala bersama para wanita kafir aurotnya adalah apa yang biasa nampak tatkala bekerja, (4) tatkala dalam sholat aurotnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya' (Hasyiah Iaanat Thoolibin 1/113)

Beliau juga berkata ;

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لأنه ربما شغله عن صلاته وأن يصلي الرجل متلثما والمرأة منتقبة إلا أن تكون بحضرة أجنبي لا يحترز عن نظره لها فلا يجوز لها رفع النقاب

"Dan dibenci sholat di baju yang ada gambarnya atau bordirannya karena bisa jadi menyibukannya dari sholatnya, dan dimakruhkan seorang lelaki sholat dengan menutup wajahnya, juga dimakaruhkan wanita sholat dengan bercadar, kecuali jika dihadapan seorang lelaki ajnabi yang tidak menjaga pandangannya dari melihatnya maka tidak boleh baginya membuka cadarnya" (Haasyiah I'aanat Thoolibiin 1/114)

(9) Asy-Syarwaani rahimahullah berkata:

قال الزيادي في شرح المحرر بعد كلام: وعرف بهذا التقرير أن لها ثلاث عورات عورة في الصلاة وهو ما تقدم، وعورة بالنسبة لنظر الاجانب إليها جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد، وعورة في الخلوة وعند المحارم كعورة الرجل اه. ويزد رابعة هي عورة المسلمة بالنسبة لنظر الكافرة غير سيدتها ومحرمها وهي ما لا يبدو عند المهنة

"Az-Zayyaadi berkata dalam syarh Al-Muharror… "Dan diketahui berdasarkan penjelasan ini bahwasanya seorang wanita merdeka memiliki 3 kondisi aurot (1) Aurot dalam sholat, yaitu sebagaimana telah lalu (seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan-pen), (2) Aurot jika ditinjau dari pandangan para lelaki asing kepadanya maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya bahkan wajah dan kedua tagannya menurut pendapat yang jadi patokan, (3) Aurotnya tatkala sedang bersendirian atau bersama mahram maka seperti aurtonya lelaki (antara pusar dan lutut-pen)"

Ditambah yang ke (4) Aurotnya ditinjau dari pandangan wanita kafir kepadanya jika wanita tersebut bukan tuannya dan juga bukan mahramnya, maka aurotnya adalah yang biasa nampak tatkala kerja" (Haasyiat Asy-Syarwaani 'alaa Tuhfatil Muhtaaj 2/112)

(10) An-Nawawi Al-Bantani Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata :

"Dan aurot wanita merdeka dan budak dihadapan para lelaki asing yaitu jika mereka memandang kepada mereka berdua adalah seluruh tubuh bahkan termasuk wajah dan kedua telapak tangan, bahkan meskipun tatkala aman dari fitnah. Maka haram bagi mereka untuk melihat sesuatupun dari tubuh mereka berdua meskipun kuku yang terlepas dari keduanya" (Kaasyifat As-Sajaa 'alaa Safinatin Najaa hal 63-64)

(11) Ibnu Umar Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata

والحرة لها أربع عورات : ...رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه

"Dan wanita merdeka memiliki 4 kondisi tentang aurat…kondisi yang keempat adalah seluruh tubuh sang wanita bahkan kukunya , dan ini adalah aurotnya tatkala ia di hadapan para lelaki yang asing, maka haram bagi seorang lelaki ajnabi (asing) untuk melihat sebagian dari hal itu, dan wajib bagi sang wanita untuk menutup hal itu dari sang lelaki" (Nihaayat az-Zain Fi Irsyaadil Mubtadiin, hal 47)



KEDUA : PARA MUFASIIR SYAFI'IYAH

          Berikut ini akan penulis sampaikan perkataan para ahli tafsir yang bermadzhab syafi'iyah tatkala mereka menafsirkan ayat tentang wajibnya berjilbab, yaitu firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)

"Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Ahzaab : 59)

(1) Abul Mudzoffar As-Sam'aani (wafat 489 H) rahimahullah, beliau berkata :

قال عبيدة السلماني : تتغطى المرأة بجلبابها فتستر رأسها ووجهها وجميع بدنها إلا إحدى عينيها

"Berkata 'Abiidah As-Salmaaniy : Wanita menutup diri dengan jilbabnya, maka ia menutup kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya kecuali salah satu matanya" (Tafsiirul Qur'aan 4/307)

(2) Ilkyaa Al-Harroosy (wafat 504 H)rahimahullah, beliau berkata

الجلباب: الرداء، فأمرهن بتغطية وجوهن ورؤوسهن، ولم يوجب على الإماء ذلك

"Jilbab adalah selendang kain, maka Allah memerintahkan para wanita untuk menutup wajah-wajah mereka, dan hak ini tidak wajib bagi para budak wanita" (Ahkaamul Qur'aan 4/354)

(3) Al-Baghowi (wafat 516 H) rahimahullah, beliau berkata :

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ

"Ibnu Abbaas dan Abu Ubaidah berkata : Allah memerintahkan para wanita kaum muslimin untuk menutup kepala mereka dan wajah mereka dengan jilbab kecuali satu mata, agar diketahui bahwasanya mereka adalah para wanita merdeka (bukan budak)" (Tafsir Al-Baghowi 6/376)

(4) Ar-Roozi (wafat 606 H) rahimahullah, beliau berkata :

وقوله ذالِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ قيل يعرفن أنهن حرائر فلا يتبعن ويمكن أن يقال المراد يعرفن أنهن لا يزنين لأن من تستر وجهها مع أنه ليس بعورة لا يطمع فيها أنها تكشف عورتها فيعرفن أنهن مستورات لا يمكن طلب الزنا منهن

"Dan firman Allah ((Yang demikian itu agar mereka dikenal dan tidak diganggu)), dikatakan maknanya adalah mereka dikenal bahwa mereka adalah para wanita merdeka, maka mereka tidak diikuti. Dan mungkin untuk dikatakan bahwasanya mereka tidak berzina. Karena wanita yang menutup wajahnya –padahal wajah bukan aurot- maka tidak bisa diharapkan untuk membuka aurotnya, maka dikenalah mereka bahwa mereka adalah para wanita yang tertutup dan tidak mungkin meminta berzina dari mereka"(Mafaatiihul Ghoib 25/198-199)

(5) Al-Baidhoowi (wafat 691 H)rahimahullah, beliau berkata :

يغطين وجوههن وأبدانهن بملاحفهن إذا برزن لحاجة

"Mereka para wanita menutup wajah-wajah mereka dan tubuh mereka dengan kain-kain mereka jika mereka keluar karena ada keperluan" (Tafsiir Al-Baidhoowi 1/386)

(6) Tafsir Jalaalain

جمع جلباب وهي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعضها على الوجوه إذا خرجن لحاجتهن إلا عينا واحدة

"Jalaabiib adalah kata jamak/prular dari jilbab, yaitu pakaian yang dipakai oleh wanita. Yaitu mereka menjulurkan sebagian jilbab ke wajah-wajah mereka jika mereka keluar untuk keperluan mereka, kecuali (dibuka) satu matanya" (Tafsir Jalaalain hal 559)



PERINGATAN

          Ada beberapa peringatan yang perlu diketahui:

Pertama : Jika wajah wanita bukan aurot (sebagaimana pendapat sebagian ulama syafi'iyah) maka tetap hanya boleh dipandang kalau ada haajah/keperluan syar'i.

Sebagian ulama madzhab syafi'iyah memandang bahwa wajah bukanlah aurot karena beralasan bahwasanya wajah diperlukan untuk dilihat dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi para ulama tersebut tidaklah bermaksud bahwasanya wajah wanita boleh dilihat secara mutlak, akan tetapi mereka menyatakan bahwa wajah wanita hanya boleh dilihat tatkala ada haajah (kebutuhan), seperti tatkala sang wanita menjadi saksi, atau tatkala terjadi akad jual beli, atau dilihat dalam rangka untuk mengobati, dll (lihat penjelasan Al-Maawardi rahimahullah tentang sebab-sebab yang membolehkan memandang wajah wanita, di  Al-Haawi Al-Kabiir 9/35-36). Adapun hanya sekedar memandang wajah wanita tanpa sebab/keperluan yang syar'i maka tidak diperbolehkan.

(1) Asy-Syiroozi rahimahullah berkata :

وأما من غير حاجة فلا يجوز للأجنبي أن ينظر إلى الأجنبية ولا للأجنبية أن تنظر إلى الأجنبي لقوله تعالى { قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم }

"Adapun jika tidak ada hajah (keperluan) maka tidak boleh seorang lelaki ajnabi melihat kepada seorang wanita ajnabiah dan tidak pula boleh wanita ajnabiah memandang lelaki ajnabi karena firman Allah ((Katakanlah kepada para lelaki mukmin untuk menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.))…"(Al-Muhadzdzab 2/34)

(2) Al-Baihaqi (wafat 458 H) berkata :

بَابُ تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْأَجْنَبِيَّاتِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ مُبِيحٍ

"Bab haramnya memandang para wanita ajnabiyat tanpa ada sebab yang membolehkan" (As-Sunan Al-Kubro 7/143)

Beliau juga berkata :

وأما النظر بغير سبب مبيح لغير محرم فالمنع منه ثابت بآية الحجاب

"Adapun memandang kepada selain mahram tanpa sebab yang membolehkan, maka pelarangannya telah tetap dengan ayat al-Qur'an tentang wajibnya berhijab" (Ma'rifat As-Sunan wa Al-Aatsaar 10/23)

(3) Abu Syujaa' Al-Ashfahaani (wafat 593 H) rahimahullah berkata :

وَنَظَرُ الرجلَ إلىَ المرْأة عَلى سَبْعَة أضْربٍ: أحَدُهَا: نَظَرهُ إلى أجَنَبيَّة لغَيْرِ حَاجَة، فَغَيْرُ جَائِز

"Dan pandangan seorang lelaki kepada wanita ada 7 model, yang pertama : Pandangannya kepada soerang wanita ajnabiyah tanpa ada keperluan, maka hal ini tidak diperbolehkan" (Matan Abi Syujaa' hal 158)

(4) Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H) rahimahullah berkata :

ويحرم نظر فحل بالغ ومراهق إلى عورة كبيرة أجنبية ووجهها وكفيها لغير حاجة

"Dan diharamkan bagi seorang lelaki dewasa dan juga remaja untuk memandang aurot wanita dewasa ajnabiyah dan wajahnya serta kedua telapak tangannya jika tanpa ada keperluan" (At-Tadzkiroh hal 120)



Kedua : Para ulama syafi'iyah sepakat jika memandang wajah wanita jika khawatir terfitnah atau memandang dengan syahwat dan berledzat-ledzat  maka haram hukumnya. Bahkan sebagian ulama syafi'iyah menukil adanya ijmak (konsensus) para ulama dalam permasalahan ini. Diantara para ulama tersebut :

(1) Imamul Haromain al-Juwaini (wafat 478 H) , beliau berkata :

والنظر إلى الوجه والكفين يحرم عند خوف الفتنة إجماعاً

 "Dan melihat kepada wajah dan kedua telapak tangan haram tatkala dikhawatirkan fitnah, berdasarkan ijmak (konsensus) ulama" (Nihaayatul Mathlab fi Diooyatil madzhab 12/31)

(2) Ibnu Hajr Al-Haitami rahimahulloh berkata

وكذا وجهها أو بعضه ولو بعض عينها وكفها أي كل كف منها وهو من رأس الأصابع إلى المعصم عند خوف فتنة إجماعا من داعية نحو مس لها أو خلوة بها وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا

"Demikian pula diharamkan melihat wajah sang wanita atau sebagian wajahnya bahkan meskipun sebagian matanya, dan juga telapak tangannya, yaitu seluruh telapak tangannya dari ujung jari-jari hingga pergelangan tangan, tatkala dikhawatirkan fitnah -berdasarkan ijmak ulama-, yaitu fitnah yang mendorong untuk menyentuh sang wanita atau berdua-duannya dengannya. Demikian pula memandangnya dengan syahwat tentu diharamkan meskipun aman dari fitnah" (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)

(3) Al-Bujairimy rahimahullah, beliau berkata ;

وَأَمَّا نَظَرُهُ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ فَحَرَامٌ عِنْدَ خَوْفِ فِتْنَةٍ تَدْعُو إلَى الِاخْتِلَاءِ بِهَا لِجِمَاعٍ أَوْ مُقَدِّمَاتِهِ بِالْإِجْمَاعِ كَمَا قَالَهُ الْإِمَامُ ، وَلَوْ نَظَرَ إلَيْهِمَا بِشَهْوَةٍ وَهِيَ قَصْدُ التَّلَذُّذِ بِالنَّظَرِ الْمُجَرَّدِ وَأَمِنَ الْفِتْنَةَ حَرُمَ قَطْعًا

"Adapun memandang kepada wajah dan kedua telapak tangan maka hukumnya haram tatkala dikhawatirkan fitnah yang mendorong untuk berkhalwat dengan sang wanita untuk berjimak atau pengantar jimak –berdasarkan ijmak ulama-, sebagaimana yang dikatakan oleh Imaamul Haromain al-Juwaini. Kalau melihat kepada sang wanita dengan syahwat atau dengan tujuan berledzat-ledzat dengan sekedar memandang dan aman dari fitnah maka hukumnya jelas haram" (Hasyiyah al-Bujairimy 'ala al-Khothiib 10/63)



Ketiga : Memakai cadar merupakan perkara yang telah dikenal sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini. Karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang pakaian wanita yang hendak ihrom :

وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ

"Wanita yang ihrom tidak boleh memakai cadar" (HR Al-Bukhari no 1837)

Hadits ini menunjukkan bahwa memakai cadar merupakan kebiasaan para wanita di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karenanya Nabi mengingatkan agar mereka tidak memakai cadar tatkala sedang ihram.

Tradisi kaum muslimat memakai cadar juga telah ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaani rahimahullah. Beliau berkata :

استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والاسواق والاسفار منتقبات لئلا يراهن الرجال ولم يؤمر الرجال قط بالانتقاب ... إذ لم تزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن منتقبات

"Berkesinambungannya praktek akan bolehnya para wanita keluar ke mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta bersafar dalam kondisi bercadar agar mereka tidak dilihat oleh para lelaki. Dan para lelaki sama sekali tidak diperintahkan untuk bercadar…dan seiring berjalannya zaman para lelaki senantiasa membuka wajah mereka dan para wanita keluar dengan bercadar.." (Fathul Baari 9/337)

Ibnu Hajar juga berkata :

ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الاجانب

"Dan senantiasa tradisi para wanita sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwasanya mereka menutup wajah-wajah mereka dari para lelaki asing" (Fathul Baari 9/324)

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab

Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.

Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.
Madzhab Hanafi

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

* Asy Syaranbalali berkata:

وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار

“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)

* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:

وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة

“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)

* Al Allamah Al Hashkafi berkata:

والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب

“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)

* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:

تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة

“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)

* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:

قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة

“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)

Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

* Az Zarqaani berkata:

وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني

“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)

* Ibnul Arabi berkata:

والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها

“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)

* Al Qurthubi berkata:

قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها

“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)

* Al Hathab berkata:

واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح

“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)

* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:

وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب

“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.

* Asy Syarwani berkata:

إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ

“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)

* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:

غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن

“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)

* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها

“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)

* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:

فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا

“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)

* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:

ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب

“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Madzhab Hambali

* Imam Ahmad bin Hambal berkata:

كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر

“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)

* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:

« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة

“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)

* Ibnu Muflih berkata:

« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها

“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)

* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:

« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »

“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)

* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:

القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب

“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
Cadar Adalah Budaya Islam

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.

Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :

    Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

    “Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
    Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
    Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:

    مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

    “(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
    Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.

Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Aurat Wanita Menurut Madzhab Syafi’i

Manakah aurat wanita? Yang kita bahas kali ini adalah aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan di hadapan umum, di hadapan para pria yang bukan mahramnya. Tinjauan kami kali ini adalah berdasarkan madzhab Syafi’i.

Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ

“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119).

Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama). (Idem).

Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib, 1: 115).

Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.

Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.

Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’– menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. (Lihat Al Iqna’, 1: 221).

Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib, 1: 116).

Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286).

Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya berpakaian ketat, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya.

Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat. Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya yang panjangnya hingga pinggang atau paha sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih sempurna menggunakan rok yang lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah berikut ini.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“(HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan ulama Syafi’iyah di atas, punggung dan bagian dalam telapak tangan bukanlah aurat yang mesti ditutupi, wallahu a’lam.

Hanya Allah yang memberi taufik.


Referensi:

Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyyah.

Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Fathul Qorib (Al Qoul Al Mukhtar), Muhammad bin Qasim Al Ghozzi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Minhajuth Tholibin, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq dan ta’liq: Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz Al Haddad, terbitan Darul Basyair Al Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1426 H.

Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan keempata, tahun 1431 H.

Menutup Wajah Menurut Madzhab Syafi’i

Bagaimanakah pandangan ulama Syafi’iyah dalam masalah menutup wajah atau bercadar? Mungkin artikel berikut agak sedikit berbeda dengan beberapa tulisan yang menyatakan bahwa madzhab Syafi’iyah mewajibkan cadar. Tulisan ringkas ini adalah faedah ilmu dari tulisan Syaikh ‘Amru bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhohullah dalam kitab beliau Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menegaskan dalam Al Umm (1/109) mengenai pendapat beliau,

وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها

“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”

Inilah pendapat yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (3/169) mengatakan,

ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد

“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”

Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),

على المرأة أن تخمر في الصلاة جميع بدنها سوى وجهها وكفيها

“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”.

Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim hafizhohullah mengatakan,

“Sungguh sangat aneh sebagian orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan antara dua hal:

    Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan). Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.

    Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat.

Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu. Sehingga mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama aman dari fitnah. Ini jelas keliru karena telah mencampur adukkan dua hukum di atas.

Seperti kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat ataukah bukan dengan hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak. Suara wanita bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 192-193)

Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim setelah menjelaskan seperti di atas, beliau berkata,

“Kesimpulannya, penyandaran suatu perkataan kepada salah satu ulama, itu adalah kesimpulan dari penulisnya atau karena ada pertanyaan mengenai hal itu, atau dari berbagai kitab yang meneliti madzhab tersebut dan mu’tabar menurut para ulama. Oleh karena itu, janganlah ambil perkataan dari ulama madzhab yang belakangan kecuali jika tidak ditemukan ulama terdahulu. Juga harus jadi point penting yang mesti diperhatikan adalah perbedaan antara hukum dalam suatu masalah dan hukum turunan dari masalah tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.”

Di awal bahasan mengenai penelitian Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim terhadap pendapat ulama madzhab dalam hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, beliau berkata,

“Setelah jelas bahwa pendapat terkuat (dari dalil-dalil yang ada) adalah bolehnya menyingkap wajah dan telapak tangan serta keduanya bukanlah termasuk aurat, maka suatu yang amat bagus jika kami dapat mengetengahkan perkataan ulama madzhab yang mu’tabar dalam masalah ini. [Setelah itu Syaikh ‘Amru menyebutkan pendapat ulama madzhab mulai dari madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pen].

Namun sebelum terjun melihat pendapat ulama madzhab tersebut, wajib bagi saya untuk menjelaskan realita yang terjadi pada beberapa penulis yang mengangkat masalah ini, yaitu mereka berkesimpulan bahwa ulama madzhab melarang menyingkap wajah dan telapak tangan. Padahal mereka tidak mencek and ricek lagi terhadap pendapat ulama madzhab terdahulu (bukan ulama madzhab belakangan) dalam masalah tersebut. Mereka pun tidak berusaha menukil dari kitab ulama madzhab terdahulu yang jadi sandaran dalam masalah tadi. Perkataan yang mereka angkat hanyalah perkataan ulama madzhab belakangan. Lalu mereka menjadikan syarat yang ‘ajiib yang tidak pernah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka membuat syarat “selama aman dari fitnah”. Padahal syarat tersebut berkaitan dengan memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita. Syarat “selama aman dari fitnah” tidak berkaitan dengan hukum menyingkap wajah dan telapak tangan.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 188)


Catatan: Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan pendapat yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab Syafi’iyah.

Yang dapat kami simpulkan. Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan. Ada ulama Syafi’iyah yang membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi) memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Juga perhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum menyingkap wajah. Dua hal ini adalah dua hal yang berbeda.

Semoga sajian ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Wallahu a’lam.



Referensi:

Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub [sesuai cetakan]

Al Umm, Imam Asy Syafi’i, Mawqi’ Ya’sub [sesuai cetakan]

Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim, terbitan Maktabah Al Iman, cetakan pertama, 1420 H.

Jilbab Kewajiban Muslimah

Ketika memaparkan pendapat para ulama dari keempat madzhab, Quraish  Shihab tidak merujuk langsung kepada sumber aslinya, akan tetapi menukil dari buku kontemporer. Beliau menulis : " ...ada baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu pendapat para ulama keempat madzhab populer menyangkut aurat. Dalam buku Al Fiqh Wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah  az –Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan sebagai berikut : ... " [1]

Tulisan di atas menunjukkan bahwa Quraish Shihab, ketika menukil pendapat empat madzhab tidak merujuk kepada buku primer setiap madzhab yang empat tersebut.  Tetapi yang dilakukannya adalah merujuk langsung kepada buku salah seorang ulama kontemporer saja. Cara seperti ini tidak dibenarkan menurut metodologi ilmiah yang berlaku, khususnya di Universitas Al Azhar di mana Quraish  merupakan salah satu alumninya. Mudah-mudahan ini,  karena kesibukan beliau, sehingga tidak sempat untuk merujuk kepada buku-buku primer tersebut, atau mungkin karena konsentrasi beliau pada bidang tafsir, sehingga ketika menulis tentang hukum- hukum fiqh tidak terbiasa untuk merujuk kepada buku-buku madzhab. Oleh karenanya, sangat baik, kalau kita sebutkan di bawah ini pendapat para ulama keempat madzhab tentang batasan aurat dari buku primer masing-masing dari setiap madzhab.


[1] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hal 109



Pertama : Madzhab Hanafi :

Disebutkan dalam Bahru ar-Raiq :

"  Dan badan perempuan semuanya aurat kecuali wajah, telapak tangan dan dua telapak kaki. Dalilnya adalah firman Allah :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."

Berkata Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali wajah dan telapak tangannnya…dan karena  kebutuhan menuntut untuk membuka wajah untuk keperluan jual beli. Dan begitu juga diperlukan untuk membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi, makanya tidak dimasukkan aurat. Disebutkan telapak tangan bukan tangan, sebagaimana yang disebut dalam buku " Al Muhit " , karena hal itu menunjukkan bahwa  yang diboleh dibuka hanyalah  telapak tangan dalam, sedang telapak tangan luar adalah aurat , sebagaimana dalam dhahir riwayat. "

" …Berkata guru-guru kami : Perempuan yang masih muda dilarang untuk membuka wajahnya di depan laki-laki pada zaman kita saat ini, karena takut akan menimbulkan fitnah. Yang dilarang ini termasuk rambut yang berlebihan … "

" Pengarang buku mengecualikan telapak kaki, hal itu karena sangat menyulitkan khususnya bagi para perempuan-perempuan faqir. Dalam masalah ini masih diperselisihkan apakah ini benar riwayat dari Abu Hanifah dan para guru-guru. ….Tetapi dalam buku " Syarh Al Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu, diantaranya adalah apa yang diriwayatkan Abu Daud dan al Hakim dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw :

أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إزَارٌ فَقَالَ إذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا .

Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rasulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233,  Daruquthni :  2/62 , )”  [1]

Nukilan di atas secara tidak langsung, telah membantah apa yang ditulis oleh Quraish Shihab bahwa kaki wanita bukanlah aurat yang dia nisbatkan  sebagai pendapat Abu Hanifah. Quraish menulis : "Dalam satu riwayat  yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka" [2].



Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kesalahan :

Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah bukan dari buku madzhab Abu Hanifah, tetapi langsung mengambil dari buku kontemporer yaitu " Tafsir Ayat Ahkam " yang ditulis oleh Muhammad Ali As-Sais, sehingga terjadi banyak kejanggalan dan kesalahan.

Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Ini berarti bahwa semua bagian dari kaki wanita bukanlah aurat, termasuk paha dan betis wanita bukanlah aurat, karena termasuk bagian dari kaki. Pernyataan ini tentunya tidak bisa diterima oleh siapapun juga yang mengaku dirinya muslim. Walaupun mungkin bukan itu yang dimaksud oleh Quraish Shihab, tetapi ketidaktelitian beliau di dalam memilih kata-kata menyebabkan pemahaman yang rancu dan membingungkan. Mestinya beliau menulis “ telapak kaki wanita “ sebagai ganti dari “ kaki wanita “ .

Ketiga : Seandainya beliau telah mengakui kesalahannya dan memperbaiki tulisannya tersebut, yaitu dengan menulis “ telapak kaki wanita “, walaupun demikian, beliau masih terjebak dalam kesalahan berikutnya, yaitu bahwa yang benar dari riwayat Abu Hanifah bahwa telapak kakipun aurat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Nujaim salah seorang tokoh madzhab Hanafiyah. Ibnu Nujaim menulis :

“Tetapi dalam buku " Syarh Al Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu. “[3]

Madzhab Maliki :

Berkata Ibnu al Arabi Al Maliki dalam " Ahkamul Qur'an " :

" Adapun aurat perempuan adalah semua badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dan di dalam buku-buku hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :

لا تُقْبَلُ صَلَاةُ حَائِضٍ إلَّا بِخِمَارٍ

" Tidak akan diterima shalat seorang wanita yang sudah haidh ( baligh ) kecuali dengan khimar " ( HR Timidzi no 377 ) "

Dan ini adalah batasan aurat wanita merdeka, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw

أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إزَارٌ فَقَالَ إذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا .

Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak memakai sarung ? Maka Rosulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud, Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233,  Daruqutni 2/62 , )” [4]

Berkata Ibnu Juzzai di dalam al Qawanin al Fiqhiyah :

“ Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. “ [5]

Madzhab Syafi’i :

Berkata Imam Syafi'I – rahimahullah – di dalam " Mukhtashor al Muzani "  :

" Bagi perempuan merdeka, hendaknya menutup auratnya dalam sholat sampai tidak kelihatan dari anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " [6]

Berkata Imam al Mawardi di dalam bukunya "  al-Hawi al- Kabir " :

" Untuk perempuan, seluruh badannya adalah aurat dalam sholat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya sampai akhir dari pergelangan tangannya… dalilnya  adalah firman Allah swt :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."

Berkata Ibnu Abbas r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “[7]

Di tempat yang lain beliau juga menulis :

" Adapun aurat ( perempuan ),maka di bagi mejadi dua : kecil dan besar. Adapun aurat yang besar yaitu seluruh badan ( perempuan ), kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " “[8]

Berkata Khotib Syarbini di dalam bukunya “ Mughni al Muhtaj “ :

“ Adapun aurat perempuan yang merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya luar dan dalam, dari ujung jari sampai pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."

Berkata Ibnu Abbas dan Aisyah r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “[9]

Madzhab Hambali :

Berkata Ibnu Quddamah di dalam kitab : «  Al Mughni «  :

" Tidak ada perselisihan di dalam madzhab ( Hambali ) bahwasanya dibolehkan bagi perempuan membuka wajahnya dalam sholat. Dan bahwasanya tidak dibolehkan baginya untuk membuka selain wajah dan kdua telapak tangannya ....Berkata sebagian dari ulama kita bahwa perempuan semua badannya adalah aurat, karena ada hadist diriwayatkan dari nabi Muhammad saw bahwasanya bliau bersabda :

المرأة عورة

" Perempuan itu semuanya aurat " ( Hadist riwayat Tirmidzi, dan berkata : hadist ini adalah hadist hasan shohih ) " [10]

Madzhab Dhahiriyah :

Berkata Ibnu Hazm  dalam «  Al Muhalla « :

" Adapun perempuan , sesungguhnya Allah berfirman : " Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka «  sampai firman Allah swt : «  dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. ». Dan ini merupakan nash yang menunjukkan kewajiban untuk menutup aurat, leher dan dada. Dan di dalamnya terdapat nash yang menunjukkan kebolehan untuk membuka wajah . dan tidak mungkin ditafsirkan selain itu. Dan firman Allah : " dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.. " merupakan nash yang menunjukkan bahwa dua kaki dan betis merupakan sesuatu yang tersembunyi , dan tidak halal untuk ditampakkan. " [11]

[1] Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 . Bisa dirujuk juga : Muhammad Al Babruty, 'Inayah Syarhu Al Hidayah, ( Beirut , Dar Al Fikr )  Juz I , Hlm : 259 , Mula Al Hasru, Durar Al Hukkam Syar Ghurar Al Ahkam, ( Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah ) Juz I , Hlm : 59

[2] M . Quraish  Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah,  hal 48

[3] Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm : 284-285 .

[4] Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul al Qur'an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet ke I, hal. 309-310

[5] Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 ) hal. 46

[6] Al Muzani, Mukhtashor al Muzani 'ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke – 1, hal : 19

[7] Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 167

[8] Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal :  170

[9] Muhammad Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994 ) Juz I , hal : 397

[10] Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby, )  Juz I , hlm : 637

[11] Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar, Beirut, Dar Al Fikr, juz II, hlm : 247

Yasmanu

Pesan Email

Nama

Email *

Pesan *

Selamat datang di blog Yayasan Masjid Nurul Hidayah, Terima kasih telah berkunjung di blog kami.. Semoga anda senang ::: Simak berbagai info YASMANU Online melalui Facebook. Follow @Yasmanu :::: Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email:yayasanmasjidnurulhidayah@gmail.com :::: Info pemasangan iklan, hubungi email Nurul Hidayah:yayasanmasjidnurulhidayah@gmail.com atau telepon 081-259436578 :::