Feb 25, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScMuslimah4 Komentar
Kita sudah ketahui bersama bahwa yang dituntut sebelum menikah adalah sudah punya kemampuan finansial. Seorang yang menikah tidak dibebankan dengan menyusahkan diri untuk mencari utang. Yang terpenting adalah memiliki sifat ba-ah.
Dari ‘Abdullah bin Ma’sud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada para sahabat,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu adalah pengekang syahwatnya yang menggelora.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).
Al ba-ah yang dimaksud di sini menurut para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ada dua makna yaitu:
siapa yang sudah mampu berjima’ karena sudah punya kemampuan nafkah atau finansial,
siapa yang sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Intinya dari dua definisi yang disebutkan kembali ujung-ujungnya pada kemampuan finansial.
Lalu apakah jika tidak mampu dari sisi finansial diharuskan untuk mencari utangan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa tidak layak orang yang akan menikah menyusahkan diri dengan mencari utangan. Di antara alasannya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa’. Dalam hadits tidak disebut, ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia mencari utangan’. Hal ini ditunjukkan pula pada firman Allah,
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33). Dalam ayat tidaklah disebutkan, sampai Allah mencukupi mereka dengan berbagai wasilah. Namun dalam ayat disebutkan ‘hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya’. Ini menunjukkan menikah itu ketika sudah memiliki kemampuan (ghina).
Jika ada yang bertanya, apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan untuk membebani diri dengan utang untuk nikah, bukankah seperti itu mengandung maslahat?
Iya, ada maslahat. Namun mencari utangan itu membuat orang semakin hina dan seakan-akan ia menjadi budak pada orang yang beri utangan. Alasan itulah yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan tidak mencari utang.
Demikian keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 11: 13-14.
Ringkasnya, menikah dituntut harus mampu dari sisi finansial. Sebisa mungkin tidak mencari utangan untuk bisa menikah. Karena jika sejak awal sudah terbebani seperti itu, biasanya ketika menjalani kehidupan keluarga selanjutnya akan bermudah-mudahan untuk berutang.
Pahamilah, berutang itu sulit, berat dan tak mengenakkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang. Ini do’a beliau,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan sulitnya utang. (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 5)
Bahaya lain dari berutang ditunjukkan pada hadits,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Semoga Allah beri kepahaman. Moga Allah mudahkan para pemuda untuk dimampukan dari finansial dan dimudahkan segera naik pelaminan.
Kita sudah ketahui bersama bahwa yang dituntut sebelum menikah adalah sudah punya kemampuan finansial. Seorang yang menikah tidak dibebankan dengan menyusahkan diri untuk mencari utang. Yang terpenting adalah memiliki sifat ba-ah.
Dari ‘Abdullah bin Ma’sud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada para sahabat,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu adalah pengekang syahwatnya yang menggelora.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).
Al ba-ah yang dimaksud di sini menurut para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ada dua makna yaitu:
siapa yang sudah mampu berjima’ karena sudah punya kemampuan nafkah atau finansial,
siapa yang sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Intinya dari dua definisi yang disebutkan kembali ujung-ujungnya pada kemampuan finansial.
Lalu apakah jika tidak mampu dari sisi finansial diharuskan untuk mencari utangan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa tidak layak orang yang akan menikah menyusahkan diri dengan mencari utangan. Di antara alasannya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa’. Dalam hadits tidak disebut, ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia mencari utangan’. Hal ini ditunjukkan pula pada firman Allah,
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33). Dalam ayat tidaklah disebutkan, sampai Allah mencukupi mereka dengan berbagai wasilah. Namun dalam ayat disebutkan ‘hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya’. Ini menunjukkan menikah itu ketika sudah memiliki kemampuan (ghina).
Jika ada yang bertanya, apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan untuk membebani diri dengan utang untuk nikah, bukankah seperti itu mengandung maslahat?
Iya, ada maslahat. Namun mencari utangan itu membuat orang semakin hina dan seakan-akan ia menjadi budak pada orang yang beri utangan. Alasan itulah yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan tidak mencari utang.
Demikian keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 11: 13-14.
Ringkasnya, menikah dituntut harus mampu dari sisi finansial. Sebisa mungkin tidak mencari utangan untuk bisa menikah. Karena jika sejak awal sudah terbebani seperti itu, biasanya ketika menjalani kehidupan keluarga selanjutnya akan bermudah-mudahan untuk berutang.
Pahamilah, berutang itu sulit, berat dan tak mengenakkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang. Ini do’a beliau,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan sulitnya utang. (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 5)
Bahaya lain dari berutang ditunjukkan pada hadits,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Semoga Allah beri kepahaman. Moga Allah mudahkan para pemuda untuk dimampukan dari finansial dan dimudahkan segera naik pelaminan.