Keadaan ini adalah sebaliknya dari apa yang kami kaji sebelumnya. Ada yang sudah mampu mencari nafkah, bahkan sudah hidup mapan, namun belum juga naik pelaminan, alias belum juga menikah. Mapan yang kami maksudkan tidak mesti punya kendaraan atau pun rumah, ini standar sebagian orang tua yang terasa berat dipenuhi oleh para pemuda. Mapan cukuplah dengan kemampuan memberi mahar nikah dan memenuhi kebutuhan nafkah keluarga nantinya.
Dalam madzhab Syafi’i, ada dua keadaan bagi orang yang sudah mapan dan bisa mencari nafkah:
1- Sudah mampu mencari nafkah, namun ia belum punya keinginan untuk menikah dan belum butuh. Ia punya alasan karena ingin sibuk dengan ibadah atau menuntut ilmu agama. Untuk kondisi seperti ini, lebih baiknya untuk mendahulukan kepentingan agama daripada menikah. Karena menikah malah membuatnya lalai dari kepentingan agama yang maslahatnya lebih besar.
Keadaan pertama ini yang kita saksikan pada sebagian ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang sampai usia tua bahkan sampai meninggal dunia belum pula naik ke pelaminan. Mereka lebih menyibukkan diri dengan urusan agama dan mengurus umat yang maslahatnya tentu lebih besar sehingga menikah pun jadi tertunda.
2- Sudah mampu mencari nafkah, sayangnya ia belum punya keinginan menikah dan sebenarnya ia tidak terlalu sibuk dalam menuntut ilmu agama, bukan pula orang yang sibuk dalam ibadah. Ada atau tidaknya ia dalam mengurus agama sama saja karena ia pun bisa tergantikan. Posisinya tidak sama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah. Orang seperti ini lebih utama (lebih afdhal) baginya untuk menikah. Menikah menjadi pilihan terbaik supaya menyelamatkan dari zina (ini realita bagi orang yang menunda nikah akan sulit menundukkan pandangan dari yang haram), mendapatkan maslahat yang lebih besar, segera mendapatkan keturunan dan memperbanyak jumlah umat Islam.
Untuk orang yang berada dalam kondisi kedua, kami sarankan untuk tidak menunda nikah apalagi ditambah kondisi zaman yang semakin rusak. Kalau tidak menikah, kami yakin pandangan akan sulit tertundukkan.
Ingatlah di antara maslahat dari menikah adalah akan lebih mendatangkan ketenangan. Hal ini berbeda dengan para bujang yang lebih sulit tundukkan pandangan dan lebih banyak galaunya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar Rum: 21).
Dari Abu Ayyub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ
“Empat hal yang termasuk sunnah para Rasul: sifat malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah” (HR. Tirmidzi no. 1080. Hadits ini hasan gharib menurut Tirmidzi. Syaikh Al Albani dan Al Hafizh Abu Thohir mengritisi hadits ini sebagai hadits yang dhaif atau sanadnya dhaif). Namun makna hadits ini benar karena banyak hadits yang semakna dengannya.
Moga Allah mudahkan untuk segera naik pelaminan bagi yang belum menikah.
Dalam madzhab Syafi’i, ada dua keadaan bagi orang yang sudah mapan dan bisa mencari nafkah:
1- Sudah mampu mencari nafkah, namun ia belum punya keinginan untuk menikah dan belum butuh. Ia punya alasan karena ingin sibuk dengan ibadah atau menuntut ilmu agama. Untuk kondisi seperti ini, lebih baiknya untuk mendahulukan kepentingan agama daripada menikah. Karena menikah malah membuatnya lalai dari kepentingan agama yang maslahatnya lebih besar.
Keadaan pertama ini yang kita saksikan pada sebagian ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang sampai usia tua bahkan sampai meninggal dunia belum pula naik ke pelaminan. Mereka lebih menyibukkan diri dengan urusan agama dan mengurus umat yang maslahatnya tentu lebih besar sehingga menikah pun jadi tertunda.
2- Sudah mampu mencari nafkah, sayangnya ia belum punya keinginan menikah dan sebenarnya ia tidak terlalu sibuk dalam menuntut ilmu agama, bukan pula orang yang sibuk dalam ibadah. Ada atau tidaknya ia dalam mengurus agama sama saja karena ia pun bisa tergantikan. Posisinya tidak sama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah. Orang seperti ini lebih utama (lebih afdhal) baginya untuk menikah. Menikah menjadi pilihan terbaik supaya menyelamatkan dari zina (ini realita bagi orang yang menunda nikah akan sulit menundukkan pandangan dari yang haram), mendapatkan maslahat yang lebih besar, segera mendapatkan keturunan dan memperbanyak jumlah umat Islam.
Untuk orang yang berada dalam kondisi kedua, kami sarankan untuk tidak menunda nikah apalagi ditambah kondisi zaman yang semakin rusak. Kalau tidak menikah, kami yakin pandangan akan sulit tertundukkan.
Ingatlah di antara maslahat dari menikah adalah akan lebih mendatangkan ketenangan. Hal ini berbeda dengan para bujang yang lebih sulit tundukkan pandangan dan lebih banyak galaunya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar Rum: 21).
Dari Abu Ayyub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ
“Empat hal yang termasuk sunnah para Rasul: sifat malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah” (HR. Tirmidzi no. 1080. Hadits ini hasan gharib menurut Tirmidzi. Syaikh Al Albani dan Al Hafizh Abu Thohir mengritisi hadits ini sebagai hadits yang dhaif atau sanadnya dhaif). Namun makna hadits ini benar karena banyak hadits yang semakna dengannya.
Moga Allah mudahkan untuk segera naik pelaminan bagi yang belum menikah.